Jenderal Besar TNI Anumerta Soedirman lahir di Bodas Karangjati, Purbalingga, Jawa Tengah, 24 Januari 1916. Ia dibesarkan dalam lingkungan keluarga sederhana. Ayahnya, Karsid Kartowirodji, adalah seorang pekerja di Pabrik Gula Kalibagor, Banyumas. Ibunya, Siyem, adalah keturunan Wedana Rembang. Sejak umur 8 bulan Soedirman diangkat sebagai anak oleh R. Tjokrosoenaryo, asisten Wedana Rembang yang masih merupakan saudara dari Siyem.
Jenderal Soedirman
Soedirman menempuh pendidikan formal di Sekolah Taman Siswa. Kemudian ia lanjut ke HIK (sekolah guru) Muhammadiyah, Surakarta, namun tidak tamat. Saat itu Soedirman giat di organisasi Pramuka Hizbul Wathan. Selanjutnya ia menjadi guru di sekolah menengah HIS Muhammadiyah di Cilacap. Ia juga menjadi wakil ketua Pemuda Muhammadiyah Karesidenan Banyumas.
Karir militer Soedirman dimulai pada masa pendudukan Jepang di Indonesia. Ia mengikuti pendidikan calon daidanco PETA di Bogor. Setelah lulus, ia menjadi komandan di Kroya. Figurnya yang kharismatik serta menampakkan kedewasaan yang jauh melampaui usianya.
Ketika dikeluarkan Maklumat Pemerintah pada 1 November 1945. Bermunculan pasukan-pasukan bersenjata dari berbagai unsur. Banyak partai memiliki pasukan bersenjata. Karena perbedaan ideologi, agama, dan latar belakang sosial, sering terjadi perselisihan di antara mereka. Namun laskar-laskar ini dapat dipersatukan dengan tentara oleh Soedirman.
Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dibentuk pada tanggal 15 Oktober 1945, dan Soedirman dipercaya memimpin Divisi Banyumas dengan pangkat kolonel. Ketika dilangsungkan Kongres TKR tanggal 12 November 1845 di Yogyakarta, Soedirman dipilih sebagai Panglima Besar TKR dengan pangkat jenderal, dan Urip Sumoharjo sebagai Kepala Staf.
Perang besar pertama yang dipimpin Soedirman adalah perang Palagan Ambarawa melawan pasukan Inggris dan NICA yang berlangsung dari bulan November hingga Desember 1945. Pada bulan Desember 1945, pasukan TKR yang dipimpin oleh Soedirman terlibat pertempuran melawan tentara Inggris di Ambarawa. Dan pada tanggal 12 Desember 1945, Soedirman melancarkan serangan serentak terhadap semua kedudukan Inggris di Ambarawa. Pertempuran terkenal yang berlangsung selama lima hari tersebut diakhiri dengan mundurnya pasukan Inggris ke Semarang. Setelah kemenangan Soedirman dalam Palagan Ambarawa, pada tanggal 18 Desember 1945 dia dilantik sebagai Jenderal oleh Presiden Soekarno. Soedirman memperoleh pangkat Jenderal tersebut tidak melalui sistem Akademi Militer atau pendidikan tinggi lainnya, tapi karena prestasinya.
Ketika berada di Yogyakarta, penyakit yang diderita Soedirman semakin parah. Akibat penyakitnya, paru-parunya yang berfungsi tinggal satu. Yogyakarta pun kemudian dikuasai Belanda, walaupun sempat dikuasai oleh tentara Indonesia setelah Serangan Umum 1 Maret 1949. Saat itu, Presiden Soekarno dan Mohammad Hatta dan beberapa anggota kabinet juga ditangkap oleh tentara Belanda. Karena situasi genting tersebut, Soedirman dengan ditandu berangkat bersama pasukannya dan kembali melakukan perang gerilya. Ia berpindah-pindah selama tujuh bulan dari hutan satu ke hutan lain, dan dari gunung ke gunung dalam keadaan sakit dan lemah dan dalam kondisi hampir tanpa pengobatan dan perawatan medis. Ia memimpin pasukan gerilya dengan rute dari Yogyakarta, Surakarta, Madiun hingga Kediri. Mengenai penyakitnya ini, ia pernah berkata, “Kalau saja zaman damai, saya menurut saja perintah dokter. Tapi, kalau dalam masa perang seperti sekarang ini, harap dimaafkan saya menyalahi nasihat dokter. Sebab, saya harus mengikuti siasat perang.”
Jenderal Soedirman meninggal dunia di Magelang, Jawa Tengah pada tanggal 29 Januari 1950 akibat sakit tuberkulosis parah yang dideritanya. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan di Semaki, Yogyakarta. Tahun 1997 dia mendapat gelar sebagai Jenderal Besar Anumerta dengan bintang lima, pangkat yang hanya dimiliki oleh tiga jenderal di RI sampai sekarang, Haji Muhammad Soeharto, Abdul Haris Nasution dan dirinya sendiri.
Sumber:
Aning S, Floriberta. 2005. 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia; Biografi Singkat Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah Indonesia di Abad 20. Yogyakarta: Narasi